Rabu, 09 Februari 2011

Plagiarisme dan Kenaikan Pangkat


Oleh: Drajat


Belakangan ini dunia pendidikan terenyak dengan pemberitaan di media cetak dan elektronik bahwa sekitar 1.500 guru di Pekanbaru, Riau terancam kena sanksi karena karya tulis yang mereka buat diindikasikan karya orang lain alias plagiat.  Sementara harian ini, Rabu, 10 Februari 2010, memberitakan dengan gamblang: seorang guru besar diduga menjiplak.

Guru Besar Jurusan Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan Bandung ini dituding menjiplak karya Carl Ungerer, seorang penulis asal Australia.  Kolumnis Kompas dan The Jakarta Post ini setidaknya melakukan enam kali plagiarisme.

Dibalik kemirisan ini, penulis mendapat angin segar.  Apa pasalnya? Anak-anak kelas I SD begitu piawai menulis! Ya, menulis menjadi habit yang tidak bisa dipisahkan dari aktivitas belajar.  Setiap hari mereka begitu tekun menulis tentang pengalamannya, terutama kegiatan selama di sekolah dari pukul 07.30 sampai pukul 13.00.

Beragam cerita mereka tulis, dari masuk sekolah, mengikuti kegiatab belajar , istirahat, wudu. Shalat berjamaah dan beragam tulisan lain.  Ada yang menulisnya dengan waktu yang tersusun. Namun, tidak sedikit mereka menulisnya dalam bentuk cerita.

Tulisan itu, misalnya “Hari ini aku senang sekali. Ya, aku senang karena aku bertemu dengan teman-teman dan guruku di sekolah.  Ada Faza yang badannya besar.  Ada Wildan yang badannya kecil tapi senyum aja. Ada Ajeng temanku di TK. Aku juga senang kalau istirahat makannya suka sama-sama. Habis istirahat tak lupa cuci tangan.

Lalu bermain ayun-ayunan. Laluaku belajar lagi sama bu guru dan pak guru di kelas.  Eh, enggak terasa suara azan di mesjid terdengar. Lalu Pak Sonny dan Bu Rida ngasih tahu agar cepat-cepat berwudu untuk salat berjamaah. Habis itu aku dan teman-teman siap untuk pulang.

Ada juga anak-anak yag menulis seperti berikut, “Jam 07.30 aku baris di halaman sekolah, kemudian masuk belajar matematika samapi pukul 09.30, lalu istirahat samapi jam 10.00 dan belajar lagi bahasa Indonesia sampai pukul 12.00. Lalu aku shalat dan berdo’a pulang.”

Setiap hari
 Perlu penulis sampaikan, mereka melakukan kegiatan tersebut setiap hari. Waktunya menjelang pulang sekolah. Artinya, kami memberikan porsi khusus untuk menulis menjelang pulang.  Kami sepakat punya mimpi, alangkah indahnya nian jika suatu ketika, katakanlah selama setahun penuh, mereka menulis.  Itu berarti ada puluhan, bahkan ratusan halaman yang mereka tulis.

Terlebih  ada penerbit yang baik hati menerbitkan tulisan mereka.  Dengan pasti, kebahagiaan semakin lengkap, bukan.  Itu paling tidak menjadi catatan harian pribadinya yang suatu saat ketika lulus dari SD, dia bisa membuka album kenangannya.

Apakah itu akan terjadi? Pasti terjadi jika Allah SWT meridoi niat ini dan didukung ketelatenan sendiri.   Toh, kegiatan semacam ini sebelumnya sudah kami lakukan terhadap kakak kelasnya, kelas II (sekolah kami baru ada kelas I dan II).  Alhamdulillah, tatkala kenaikan kelas tiba, catatan harian mereka dibukukan.  Itu pun mereka lakukan sendiri. Buku tersebut dikemas menurut selera mereka masing-masing. 

Tatkala pembagian rapor, mereka tidak hana menerima nilai akademis, tetapi sekaligus menrima bingkisan catatan harian mereka sendiri.  Untuk memotivasi mereka, kami membuat secara menarik mungkin. Setiap anak menerima reward dan sertifikat yang tentunya dihadiri orang tua masing-masing.

Dari kisah tersebut, apa dapat Anda katakana dengan dunia menulis? Bagi kami sebagai guru, ini tentunya tidak bisa dipisahkan dari aktivitas keseharian menulis, baik ketika mengajarkan di depan siswa maupun pada persiapan mengajar.  Namun, lagi-lagi tidak sedikit yang  masih mengeluh bahwa menulis adalah pekerjaan sulit apalagi menulis di Koran, buku atau apapun yang sifatnya diwartakan dan dibaca orang lain.

Dibuat buku
Jangan, jangan putus asa. Apa yang dilakukan anak-anak seperti yang penulis paparkan di awal bisa kita lakukan pada diri sendiri.  Setiap mengajar di kelas, misalnya, guru tentunya sudah menyiapkan bahan pelajaran yang akan disampaikan. Untuk menambah tulisan, lengkapilah dengan pengalaman ketika guru menyampaikan hari itu.

Setiap kegiatan  yang guru lakukan dikumpulkan dan disusun sedemikian rupa.  Maka dalam waktu setahun, pasti materi yang disampaikan tuntas untuk satu buku.  Katakanlah saat mengajar di kelas 1, akan terwujud buku kelas 1. Pun demikian  dengan kelas-kelas berikutnya.  Jika mengajar di SD, sudah berapa jilid buku yang dapat dibuat? Demikian selanjutnya.

Dengan demikian, pembutan karya tulis ilmiah atau semacamnya yang merupakan prasyarat kenaikan pangkat dari golongan IVa ke IVb atau ke yang lebih tinggi bukan menjadi momok lagi karena sudah melekat dengan keseharian. Maka, guru terhindar dari perilaku yang tidak terpuji semacam plagiat. Bukankah begitu?***

Penulis, Mantan guru SD dan Kepala SMP Salman Al-Farisi Bandung. Kini Guru SMPN 1 Cangkuang Kab. Bandung.

Sumber : Kompas Lembar Jawa Barat, Riungan, 18 Feb 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar