Minggu, 06 Februari 2011

Mengapa Guru Banyak Utang?


oleh: IDRIS APANDI

MEMBACA berita dan tajuk di HU Galamedia tanggal 10 dan 11 Februari 2009 yang menceritakan tentang 85-90% dari 15.000 guru di Kab. Bandung terjerat utang ke bank, sebagai sesama guru, penulis merasa trenyuh, prihatin, dan ikut merasakan bagaimana "penderitaan" yang dialami para guru tersebut. Masalah serupa mungkin bukan hanya dialami guru-guru di Kab. Bandung, tetapi juga di daerah lain.

Rendahnya gaji guru menjadi alasan klasik mengapa para guru berutang ke bank.Tetapi di balik rendahnya gaji guru, penulis melihat ada beberapa alasan guru berutang ke bank.

Pertama, untuk memenuhi kebutuhan primer, seperti membeli atau merehabilitasi rumah, membeli tanah, menggadai atau membeli sawah. Kedua, untuk mencukupi biaya pendidikan, baik untuk untuk biaya dirinya, melanjutkan kuliah atau untuk mencukupi biaya pendidikan anak-anaknya. Ketiga, untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif, seperti membeli atau uang muka kredit kendaraan bermotor, membeli barang-barang elektronik, komputer, HP, gadget, pakaian, kosmetik, dan aksesori lainnya untuk menunjang gaya hidup. Keempat, meningkatnya kebutuhan operasional dan komunikasi. Saat ini, dalam satu keluarga hampir rata-rata tiap orang memiliki HP, bahkan ada yang memiliki lebih dari satu HP atau satu nomor.
Untuk membeli pulsa tentunya diperlukan anggaran tambahan.

Untuk mencari penghasilan tambahan, guru yang gajinya sudah dipotong bank dan lain-lain tersebut harus pandai memutar otak. Cara yang dilakukannya beragam. Antara lain membuka les atau privat kepada siswa, menjadi "diktator" alias ngajual diktat keur meuli motor atau bekerja sama dengan penerbit menjual buku atau lembar kerja siswa (LKS) dengan cara jual dedet. Seiring dengan kebijakan pemerintah yang melarang guru atau sekolah menjual buku kepada siswa, tentu hal ini sudah harus ditinggalkan. Selanjutnya, ada yang menjadi "tukang kredit", yaitu membawa sampling atau gambar barang-barang dan menawarkannya kepada sesama guru, menjadi anggota multilevel marketing (MLM), berdagang, bertani, menjadi tukang ojek, menjadi pemulung, bahkan menjadi tukang parkir.

Korban

Seperti yang disampaikan tajuk Galamedia tanggal 11 Februari 2009, para guru yang terjerat utang ke bank adalah korban longgarnya kebijakan kredit dari bank. Penulis punya teman seorang guru PNS golongan IV/a dengan gaji pokok Rp 2 juta sebulan. Suatu saat dia mengajukan pinjaman ke sebuah bank sebanyak Rp 50 juta, tetapi oleh bank justru "dirayu" untuk meningkatkan kreditnya menjadi Rp 70 juta dengan cicilan selama 8 tahun. Akhirnya dia pun eleh deet dan mengambil kredit sebanyak 70 juta. Akibat salah perhitungan dan menjadi korban penipuan, uangnya habis dan sekarang dia harus mencicil utang ke bank selama 8 tahun untuk utang yang tidak optimal pemanfaatannya.

Sebelum memutuskan berutang ke bank tentunya dia harus memperhitungkan untuk kebutuhan apa dia berutang, berapa uang yang dibutuhkan, apakah masih masih ada sisa gaji (take home pay) yang dibawa ke rumah minimal 60% dari gaji pokok, dan uang pinjaman tersebut harus digunakan sesuai peruntukannya.

Biasanya, ketika seorang guru (PNS) berutang ke bank, maka SK pegawai asli, kartu Taspen asli, dan kartu pegawainya disimpan di bank. Selain sebagai jaminan, hal tersebut sebagai bentuk antisipasi agar ia tidak berutang ke bank lain. Tetapi yang terjadi di lapangan berbeda. Karena didesak kebutuhan, guru pun akhirnya terpaksa meminjam ke koperasi, meminjam ke bank lain dengan memakai nama orang lain, bahkan meminjam bank keliling (rentenir). Itulah potret kehidupan nyata yang dialami oleh guru.

Mengingat hal tersebut, pemerintah memiliki niat baik untuk meningkatkan kesejahteraan guru melalui kebijakan sertifikasi. Guru yang telah lulus sertifikasi akan mendapatkan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok. Sertifikasi adalah jalan terhormat bagi guru untuk mendapatkan peningkatan kesejahteraaan.

Kreatif

Penulis melihat banyak cara kreatif yang dapat dilakukan guru untuk menambah penghasilan. Salah satunya dengan menjadi penulis. Penulis adalah profesi terhormat dan pamornya tidak kalah dengan guru. Seperti guru, penulis pun ikut mencerdaskan kehidupan bangsa melalui tulisan-tulisannya.

Banyak manfaat yang dirasakan guru yang menjadi penulis. Antara lain, mendapatkan honor dari artikel yang dimuat di koran atau majalah, mendapatkan royalti dari penerbit atas buku yang dikarangnya, menjadi terkenal, apalagi jika tulisannya tersebut ide segar, belum pernah dibahas orang lain dan fenomenal.
Tentunya guru juga bisa mendapatkan kepuasan batin karena mampu mengartikulasikan ide-ide melalui tulisan, apalagi jika tulisannya mampu memengaruhi orang lain.

Banyak guru yang telah mendapatkan buah dari profesi tambahan sebagai penulis. Mereka ada yang menjadi juara lomba mengarang, lomba menulis buku, baik di tingkat lokal maupun tingkal nasional, dan sebagainya. Buah dari menulis, kesejahteraan mereka pun ikut meningkat. Mereka mendapatkan hadiah uang, kesempatan untuk melajutkan pendidikan, dan diundang untuk menjadi pembicara pada seminar-seminar untuk berbagi pengalamannya sebagai penulis sukses.

Dengan demikian, menjadi penulis bisa menjadi anternatif kreatif bagi guru untuk mendapatkan tambahan penghasilan dan mengurangi potensi terjerat utang.

Penulis, Guru SMP Madani KBB, Pegawai LPMP Jawa Barat, Koorwil AGP PGRI Bandung Raya

Status :  Pengurus AGP PGRI Jabar

klik desk anggota agp di:
http://sekretariatagppgrijabar.blogspot.com/2011/02/daftar-anggota-agp-pgri-jawa-barat.html
 
Sumber: Galamedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar