Minggu, 06 Februari 2011

Perilaku Tawuran di Kalangan Remaja


 Oleh: Dra. Hj. Yani Maryani
Aksi tawuran, kekerasan dan bentrokan  pelajar atau mahasiswa kerap ditayangkan di layar televisi.  Fenomena  apa sebenarnya yang terjadi di kalangan generasi kita?

Seringkali unjuk kekuatan dilakukan oleh elemen masyarakat pasca reformasi ditandai mobilisasi massa dalam keperluan mendukung atau menolak calon tertentu, demontrasi atau perbuatan anarkis. Seolah menjadi pelengkap, tawuran di kalangan pelajar menjadi fenomena harus disikapi kritis.
Bila ditelaah secara seksama, tawuran pelajar merupakan salah satu bentuk perilaku penyimpangan sosial-kolektif remaja.  Tawuran berbuah dendam berlarut-larut ditandai saling curiga mencurigai dan ancam-mengancam.  Ironisnya, rekan mereka tak tahu duduk persoalannya sering menanggung “buah kerja” rekannya.   Akibatnya, teror dan ketakutan menghantui seluruh warga sekolah.
Tawuran pelajar telah menjadi sebuah fenomena sosio-kultural dalam kehidupan.  Solusi pemecahannya bukan hanya melibatkan guru konselor dan orang tua, tapi harus diselesaikan secara holistik dan langsung menyentuh kepada akar persoalan yang paling mendasar. Kita ketahui bahwa masa remaja adalah mencari identifikasi diri.  Masa penuh keegoan dan pencarian karakter. Suatu masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa.  Mereka merasa bukan kanak – kanak lagi, tetapi mereka belum mampu mengemban tugas sebagai orang dewasa. Karena itu, situasi ini membawa remaja cenderung labil serta tidak mampu menyesuaikan diri secara sempurna terhadap lingkungannya.
Di lain pihak, ego itu pula direfleksikan melalui aktivitas berkelompok, seperti: geng, atau sekolah sehingga tercipta  semacam ikatan batin antara sesama kelompoknya untuk menjaga harga diri kelompoknya.  Pada fase ini, remaja termasuk kelompok yang rentan melakukan berbagai perilaku negatif secara kolektif. Kepatuhan akan  norma kelompok sangat kuat dan  seringkali mendobrak tatanan sistem nilai yang terbangun baik di masyarakat.

Faktor penyebab tawuran
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pediatrics Investigators Dimitri A. Christakis, MD, MPH dan Frederick Zimmerman, PhD, pada rumah sakit Seattle Children’s Hospital Research Institute dan University of Washington School of Medicine menyimpulkan bahwa perilaku agresi yang dilakukan anak usia remaja sangat berhubungan dengan kebiasaannya dalam menonton tayangan televisi.   
Faktor lain bertanggung jawab  adalah tidak optimalnya para pendidik memberikan pola pendidikan kepada para anak didiknya. Ini berkaitan erat dengan profil guru yang masih bergelut dengan pemenuhan kebutuhan keluarganya sehingga curahan perhatian terhadap siswa lebih dipengaruhi subyektifitas kondisi psikologis dan emosi di rumah seperti: rasa penat, tekanan, atau pemarah.  Akibatnya mudah tersinggung, mudah memvonis atau memberi sanksi.  Hal itu dapat menanamkan kesan negatif di mana sekolah tidak ubahnya menjadi belenggu yang menindas ekspresi mereka.
Kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada  pelajar.  Seringkali kebijakan yang dibuat hanya berdasarkan kebutuhan penguasa tanpa melihat dan melakukan survei apa kebutuhan pelajar. Pelajar hanya sebagai objek pendidikan sehingga eksistensi mereka tidak diakui,  dan pendidikan tidak membebaskan peserta didik dari belenggu tetapi pendidikkan malahan menjadi tirani bagi mereka.

Pendidikan nilai di sekolah
Fenomena maraknya tawuran pelajar tentunya sangat memprihatinkan kita.  Apabila permasalahan ini tidak tertanggulangi dengan baik maka dapat dipastikan akan membawa dampak buruk bagi masa depan bangsa nantinya.  Upaya antisipatif terhadap tawuran pelajar mutlak dilakukan.
Menurut Malik (2002), salah satu faktor yang melatarbelakangi terjadinya tawuran pelajar adalah krisis moral yang tengah melanda remaja. Padahal moral adalah modal yang paling penting sebagai tameng bagi seseorang untuk menjalani kehidupannya. Sehingga, pencegahan tawuran dapat dilakukan secara efektif dengan memberikan pendidikan moral kepada pelajar melalui reposisi pendidikan nilai di sekolah. 
Berkaitan dengan moral inilah pembelajaran budi pekerti harus kembali dihidupkan. Sekolah yang diharapkan mampu memanusiakan manusia secara hakiki, bukan menghasilkan “manusa robot” yang mengabdi pada pasar kapitalis dengan mengorbankan keutuhan. Zaim ElMubarok (PR, 2/5) memaparkan ketidakseimbangan itu dipicu akibat kesenjangan antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif).  Lembaga pendidikan  sekadar mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil material atau komponen lulusan  yang dituntut pasar.
Ketimpangan itu berdasarkan fakta,  di mana perhatian dunia pendidikan lebih terpusat pada hasil angka, yakni nilai ulangan, raport, ujian akhir, dsb. Sementara   mata pelajaran yang diharapkan memberikan pendidikan nilai (afektif) seperti pendidikan agama atau pendidikan pancasila lebih banyak diberikan  secara  teori (kognitif).  Orientasi prestasi akademik seringkali mengabaikan penanaman karakter siswa, di mana hasil yang dicapai lebih didasarkan pada pencapaian angka diperoleh. Kejujuran, ketekunan, tanggung jawab, kepercayaan, adalah karakter yang hampir diabaikan dalam kenaikan atau kelulusan seorang siswa.   
Mata ajar yang menyangkut sikap hidup dan kepribadian sudah seharusnya  tidak boleh lagi menjadi beban yang memberatkan kognisi siswa, melainkan harus menjadi gaya hidup (life-style) dan etos kerja.   Pendidikan nilai seyogianya tidak harus dipikul oleh sebuah mata ajar  tertentu. Namun tiap guru melalui mata pelajaran yang diampu, secara eksplisit  menjelaskan nilai-nilai yang ada dalam mata ajarnya.  Seorang guru harus mengajarkan tiga ranah secara integral, yakni ranah kognitif, afektif dan psikomotor.  Atau dalam bahasa agama sering disebut integrasi ilmu, iman, dan amal. 
Dengan demikian, setiap guru berkewajiban melaksanakan pendidikan nilai tanpa terkecuali. Pendidikan nilai bisa dilaksanakan melalui pelajaran apa saja, bahasa Indonesia, pendidikan jasmani, fisika, komputer, dsb. Contoh sederhana, bila guru olahraga menggenjot sebatas prestasi olahraga anak dan mengabaikan pendidikan afektif, maka mungkin menghasilkan atlet sukses, namun juga mencetak pribadi angkuh dalam setiap kemenangan, melecehkan lawannya yang kalah serta mengabaikan azas sportivitas, seperti: melegalkan doping atau kecurangan, dan mencederai lawan.  Bila guru ekonomi hanya menitikberatkan  aspek kognitif saja, niscaya bakal lahir kaum borjuis yang siap menghisap rakyat kecil dan pola pikirnya dicekoki keuntungan dan keuntungan tanpa memiliki kepekaan sosial dan kepedulian sesamanya.
 Satu hal penting bagi guru,  perlunya tampil sebagai teladan untuk digugu dan ditiru siswa. Guru bertugas bukan hanya mengajar, tetapi lebih utama sebagai pendidik yang dipundaknya digantungkan harapan untuk mencetak generasi bangsa yang cerdas, bertakwa kepada Tuhan YME dan  berakhlak mulia.  Dengan demikian, pendidikan  nilai bukan hanya dapat mengembalikan filosofi dasar pendidikan Indonesia, namun juga karena Indonesia sebagai negara Pancasila dapat kembali menumbuhkan  nilai-nilai luhur yang menjadi ciri kepribadian bangsa kita seperti: ramah-tamah, kesopanan, gotong royong,  tepa selira,  dan lain-lain. Nilai-nilai ini akan membentengi perilaku negatif siswa sehingga pendidikan bukan hanya menyediakan manusia berintelektual tinggi, namun juga manusia yang merasa, peka, jujur, santun, dan terpercaya. ***/

Penulis, Guru di MTs Negeri Subang

Sumber :  Majalah Suara Daerah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar