Jumat, 11 Februari 2011

Alasan Penolakan dalam Penilaian KTI untuk Kenaikan Pangkat

oleh : Ida Weti, S.Pd

Salah satu penghambat pembuatan Karya Tulis Ilmiah (KTI) oleh guru dalam rangka memenuhi syarat kenaiakan pangkat golongan IV adalah kurangnya informasi tentang bentuk KTI yang sesuai dengan persyaratan, terutama bagi guru-guru di daerah sedangkan tim penilai ada di pusat.
Sehingga tidak sedikit KTI yang diajukan oleh guru-guru tidak memenuhi persyaratan atau di tolak oleh tim penilai.

Berikut ini sebagian alasan penolakan dalam penilaian KTI. Data ini penulis dapatkan pada waktu penulis mengikuti diklat KTI bagi guru, kepala sekolah, dan dan pengawas di lingkungan Departemen Agama Propinsi Jawa Barat yang pematerinya tim penilai KTI pusat.

Alasan-alasan tersebut, antara lain:
  1. Pada KTI terdapat yang menunjukan bahwa KTI tersebut tidak asli, seperti data yang tidak konsisten, lokasi, nama sekolah, dan data yang dipalsukan, lampiran yang tidak sesuai, dan lain-lain.
  2. Pada KTI terdapat indikasi yang menunjukan kejanggalan misalnya : a.  Dalam satu tahun, seorang guru mengajukan lebih dari dua buah KTI hasil penelitian. (apabila di setiap semester dilakukan satu penelitian, maka dalam setahun, dihasilkan maksimal dua KTI hasil penelitian). b. Beberapa KTI dari guru yang sama, sangat berbeda kualitasnya. Misalnya satu KTI berkualitas setara tesis, sedang KTI yang lain, mempunyai kualitas yang sangat jauh berbeda. Tidak wajar apabila kualitas KTI dari guru yang sama, mempunyai mutu yang sangat jauh berbeda. c.KTI yang dinyatakan dibuat dalam waktu yang berbeda (misalnya tahun-tahun yang berbeda) mempunyai kesamaan mencolok satu dengan yang lain. Kesamaan itu misalnya tampak pada kata pengantar, tanggal pengesahan, tanggal pembuatan, foto pelaksanaan yang sama, dan data yang lain menunjukan ketidakwajaran.
  3. KTI yang diajukan sangat mirip skripsi, tesis atau desertasi (yang sangat mungkin karya orang lain). Hal ini tampak dari sajian isi, format kelengkapan kepustakaan, kedalaman teori dan terutama permasalahan penelitiannya.
  4. Beberapa KTI (yang umumnya berasal dari daerah yang sama) sangat mirip. Kemiripan yang mencolok tersebut tampak pada pengantar, abstrak, teori, daftar pustaka, yang tertulis sama baik bentuk dan ukuran huruf, kata demi kata, kalimat, dan lain-lain. Fakta di lapangan menunjukan adanya biro jasa yang bersedia “membuatkan” KTI bagi para guru.
  5. Isi KTI tidak berkaitan dengan tugas guru dalam tugas pembelajarannya. a. Masalah yang dikaji tidak sesuai dengan tugas si penulis sebagai guru. b. Masalah yang dikaji tidak sesuai latar belakang keahlian atau tugas pokok penulisnya.c. Masalah yang dikaji tidak berkaitan dengan upaya penulis untuk mengembangkan profesinya sebagai guru. Contoh judul : Kumpulan naskah khotbah.
  6. Pada KTI yang dibuat oleh Kepala Sekolah menunjukan kejanggalan karena membahas berbagai mata pelajaran di luar kewajaran. Misalnya seorang Kepala Sekolahnya menulis tentang mata pelajaran : Biologi, Matematika, atau Sejarah.
  7. KTI dinyatakan berupa laporan penelitian, namun a. Latar belakang masalah tidak jelas sehingga tidak dapat menunjukan pentingnya hal yang dibahas dan hubungan masalah tersebut dengan upayanya untuk mengembangkan profesinya sebagai guru (misalnya tidak ada data fakta spesifik yang berkaitan dengan masalah di sekolah atau kelasnya). b. Rumusan masalah tidak jelas sehingga kurang dapat diketahui sebenarnya yang akan diungkapkan pada KTI-nya. c. Lebih merupakan penelitian bidang studi. Contoh judul :Pengaruh jumlah faktor air semen pada kekuatan beton.d. Kebenarannya tidak terdukung oleh kebenaran teori, kebenaran fakta dan kebenaran analisisnya. e. Metode penelitian, sampling, data, analisi hasil yang tidak / kurang benar.
  8. KTI dinyatakan sebagai Laporan PTK (Penelitian Tindakan Kelas) namun: a. Tidak jelas apa, bagaimana dan mengapa kegiatan tindakan yang dilakukan, juga tidak jelas bagaimana peran hasil evaluasi dan refleksi pada penentuan siklus-siklus berikutnya. b. Apa yang dijelaskan dalam laporan ternyata hanya laporan pembelajaran biasa, yaitu : Tahapan dalam siklus hanya sama dengan tahapan pembelajaran, siklus hanya dilaksanakan dalam satu pertemuan.
Demikianlah sebagian alasan penolakan dalam penilaian KTI. Semoga bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi yang ingin mengajukan KTI dalam rangka memenuhi syarat kenaikan pangkat golongan IV.

Amin.

Penulis, Guru MTsN 2 Bandung


 Status:
Anggota AGP PGRI Jabar

Alamat Desk Anggota AGP PGRI Jabar  :  
 
Sumber Tulisan : http://idaweti.blogspot.com/

Kamis, 10 Februari 2011

Merencanakan Karier Siswa

 oleh : UUS FIRDAUS

DATA statistik menyatakan bahwa 41,2 persen dari total jumlah pengangguran di Indonesia adalah pelajar. Ada apa dengan pelajar Indonesia? Apakah dunia pendidikan yang tidak mengajarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan? Apakah selama di bangku sekolah mereka tidak belajar?

Bersekolah atau menjalani studi adalah jembatan emas yang akan mengantarkan pelajar ke dunia profesi dan masa depan yang cerah. Setelah menyelesaikan studi, pelajar pasti memasuki dunia profesi dan pekerjaan yang sangat kompetitif dan berbeda dengan dunia pendidikan. Dunia sekolah begitu indah dan membawa romantika yang berbunga-bunga bagi setiap anak. Sementara dunia kerja penuh dengan persaingan dan seni untuk mengembangkan profesi.

Berdasarkan hasil penelitian para ahli, ternyata pelajar tidak memiliki perencanaan karier yang jelas. Ke mana mereka akan pergi setelah menyelesaikan studi? Pekerjaan dan profesi apa yang akan digeluti setelah tamat? tidak pernah dipikirkan secara matang di bangku sekolah

Dengan demikian, peranan orang tua dan guru di sekolah hendaknya menjadi fasilitator bagi mereka agar mereka dapat berkembang secara mandiri. Mereka perlu mendapat bimbingan yang sesuai agar dapat berkembang secara optimal sesuai dengan potensi, bakat, minat, dan prestasi yang dimilikinya. Terlebih bagi guru yang mempunyai peranan untuk mengantarkan mereka ke masa depan yang tantangannya jauh berbeda dengan keadaan sekarang.

Di negara maju, para orang tua sudah membiasakan anaknya merencanakan masa depan sejak kecil. Keluarga sebagai tempat pertama dan utama mempelajari kehidupan telah terbiasa dengan apa yang disebut "perencanaan" (planing).

Anak-anak di negara maju telah belajar dari orang tua mereka tentang pentingnya dan keterampilan merencanakan masa depan. Dengan perencanaan yang disusunnya, maka hari-hari yang dilalui sang anak merupakan upaya dan ikhtiar mewujudkan tujuan dan rencana yang telah dibuatnya.

Berbeda halnya dengan anak-anak di negara berkembang seperti Indonesia. Anak-anak belum terbiasa dan tidak terampil membuat rencana. Hari-harinya diisi dengan aktivitas atau kegiatan yang tidak terarah. Biasanya asal ikut-ikutan. Ada juga yang menghabiskan waktu dengan kegiatan bermain tanpa tujuan. Bahkan banyak yang mengisi waktu dengan kegiatan hura-hura serta membahayakan masa depan, seperti tawuran, nongkrong di jalan/gang, atau menjadi anggota geng motor.

Mengingat betapa pentingnya masalah karier dalam kehidupan manusia, maka sejak dini anak perlu dipersiapkan dan dibantu untuk merencanakan hari depan yang lebih cerah, dengan cara memberikan pendidikan dan bimbingan karier yang berkelanjutan.

Ada beberapa materi bimbingan yang dapat diberikan, yaitu menjelaskan manfaat mencontoh orang-orang yang berhasil, melatih siswa menggambarkan kehidupan di masa akan datang, membimbing diskusi mengenai pekerjaan wanita dan pria, menjelaskan jenis-jenis keterampilan yang dikaitkan dengan pekerjaan tertentu, melatih siswa membayangkan hal-hal yang akan dilakukan pada usia 25 tahun kelak, membimbing siswa tentang macam-macam gaya hidup dan pengaruhnya, melatih siswa merencanakan pekerjaan apa yang cocok pada masa dewasa, membimbing siswa berdiskusi tentang pengaruh pekerjaan orang terhadap kehidupan, melatih siswa melihat hubungan antara minat dan kemampuan, dan mengenalkan macam-macam pekerjaan yang ada di lingkungan sekitar.

Selain itu, dalam pemberian bimbingan perlu pula penyesuaian dengan karakteristik dan usia anak. Sebab, menurut para ahli pada usia remaja ada empat tahapan yang dimiliki anak, yakni (1) sub tahap minat (interest) usia anak sekitar 11-12 tahun, pada saat ini anak cenderung melakukan pekerjaan-pekerjaan atau kegiatan-kegiatan hanya yang sesuai dengan minat dan kesukaan mereka; (2) sub tahap kapasitas (vapacity) (13-14 tahun) anak mulai melakukan pekerjaan/kegiatan didasarkan pada kemampuan masing-masing, di samping minat dan kesukaannya; (3) sub tahap nilai (values) (15-16 tahun) anak sudah bisa membedakan mana kegiatan/pekerjaan yang dihargai oleh masyarakat, dan mana yang kurang dihargai; dan (4) sub tahap transisi (transition) (17-18 tahun) anak sudah mampu memikirkan atau "merencanakan" karier mereka berdasarkan minat, kamampuan, dan nilai-nilai yang ingin diperjuangkan.

Mudah-mudahan upaya pemberian bimbingan karier yang sesuai dengan karakteritik siswa dapat memberikan panduan untuk meniti karier yang lebih jelas dan mempunyai panduan dalam menyongsong masa depan. (*)

Penulis, Guru SMP Negeri 1 Paseh
Kabupaten Bandung


Status : Anggota AGP PGRI Jabar

Klik alamat desk anggota agp pgri jabar:
http://sekretariatagppgrijabar.blogspot.com/2011/02/daftar-anggota-agp-pgri-jawa-barat.html 

Sumber tulisan : tribun jabar

Adilkah Bila Guru yang Disalahkan?

oleh: Lorentina, S.Pd

Ditinjau dari sisi manapun, perbuatan guru yang melakukan kecurangan saat UN berlangsung atau memanipulasi hasil UN adalah salah. Kecurangan itu telah menyalahi peran, tugas dan tanggung jawab guru sebagai pengajar dan pendidik.


Dalam kasus ini, guru telah mengingkari pentingnya nilai kejujuran. Sebagai pendidik, idealnya guru mampu bertugas dan berperan sebagai konservator (pemelihara), transmitor (penerus), transformator (penerjemah) dan organisator (penyelenggara) sistem nilai yang merupakan sumber norma bagi siswa dalam proses menuju kedewasaannya. Tapi adilkah bila semua kesalahan itu hanya ditujukan pada guru?

Bukan hanya siswa yang merasa tertekan dalam menghadapi UN, guru pun demikian, Ada keharusan tak tertulis yang meminta agar guru berhasil melatih siswa dengan baik sehingga mereka berhasil lulus. Tingkat kelulusan suatu sekolah akan berpengaruh terhadap tingkat kelulusan kabupaten/ kota dan berpengaruh pula terhadap capaian kelulusan tingkat propinsi.

Bila siswa berhasil, sukses, pintar, bukan guru yang dipuji dan dipandang berhasil mendidiknya. Siswa berhasil karena siswa itu sendiri memang pintar. Tapi bila siswa gagal, seringkali gurulah yang jadi kambing hitam dan sasaran empuk untuk menimpakan kegagalan itu. Guru dianggap tidak becus mengajar, melatih, memotivasi dan mengubah siswa.

Dari tahun ke tahun, standar kelulusan mengalami peningkatan. Tujuannya tak lain agar kualitas pendidikan pun meningkat pula. Yang jadi pertanyaan adalah percayakah kita pada hasil UN tahun-tahun sebelumya sebagai suatu hasil yang murni sehingga standar kelulusan perlu selalu ditingkatkan? Beberapa guru dari Komunitas Air Mata Guru (KAMG) yang melaporkan kecurangan pada UN 2007 lalu menandakan bahwa UN tahun lalu tidak murni. Tidak mustahil hal serupa juga terjadi di daerah-daerah lain. Hasil UN yang tak menggambarkan hasil sesungguhnya itu pun dijadikan tolok ukur kualitas pendidikan dan ditindaklanjuti dengan menaikan standar nilai kelulusan.

Dalam psikologi, sebuah aksi akan disambut oleh reaksi. Kecurangan dalam UN adalah salah satu reaksi negatif yang dipicu oleh rasa tidak percaya diri. Percaya diri bukan sifat yang bisa tumbuh dengan sendirinya. Percaya diri itu perlu dilatih, ditumbuhkan dan ditopang. Kita tak perlu ragu mengakui bahwa kita belum percaya diri untuk menampilkan dunia pendidikan kita di lingkup ASEAN sekalipun. Bagaimana bisa percaya diri, bila siswa belajar di kelas yang hampir roboh, dengan kondisi gizi yang mengkhawatirkan dan beragam persoalan yang membelit dunia pendidikan kita. Sejatinya, kondisi apapun bukan alasan untuk tak percaya diri. Tapi inilah kenyataannya. Pemerintah tidak bisa begitu saja menyamakan kemampuan siswa di seluruh nusantara dengan kondisi mereka yang berbeda.

Tuntutan pemerintah belum sebanding dengan apa yang dapat mereka berikan. Peningkatan standar nilai kelulusan yang tidak dibarengi dengan peningkatan dukungan standar minimal pendidikan membuat sekolah-sekolah terutama di daerah pinggiran merasa ragu dan tak percaya diri dalam menghadapi UN. Pemerintah pun tak bergeming dengan tuntutan pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN/APBD, malahan kenyataan pahit harus diterima karena gaji guru dimasukkan ke dalam anggaran hingga tiba-tiba anggaran pendidikan menjadi meningkat. Peningkatan yang semu.

Sekolah itu mahal. Tidak semua orang bisa menempuhnya. Tidak lulus adalah mimpi buruk. Terlebih bagi siswa dari kalangan tak mampu. Inilah alasan beberapa guru di Deli Serdang sehingga melakukan kecurangan saat UN.

Ironis. Para pahlawan tanpa tanda jasa itu digiring ke kantor polisi. Mereka harus mempertanggungjawabkan kesalahan karena bisikan nurani untuk menolong siswa dari ketidakadilan sistem pendidikan kita. Adilkah bila hanya para guru itu yang disalahkan? Sebenarnya mereka juga adalah korban.***


Penulis, guru MTs N 2 Bandung

Status : Anggota AGP PGRI Jabar 

klik alamat anggota agp pgri jabar:
http://sekretariatagppgrijabar.blogspot.com/2011/02/daftar-anggota-agp-pgri-jawa-barat.html 

Sumber Tulisan : Harian Umum Pikiran Rakyat, 22 Mei 2008

Rabu, 09 Februari 2011

Pendidikan Kewirausahaan di SMA

Oleh IWAN KARTIWA


GUBERNUR Jawa Barat Ahmad Heryawan, dalam acara peringatan Hari Koperasi menyampaikan gagasan agar pendidikan kewirausahaan ("entrepreneurship") juga diberikan di jenjang pendidikan SMP dan SMA. 

Adanya gagasan tersebut sudah tentu perlu direspons oleh semua komponen pendidikan khususnya di Jawa Barat sebagai sebuah tantangan sekaligus peluang dalam mempersiapkan dan meningkatkan mutu pendidikan menghadapi era globalisasi yang sarat persaingan dan penuh ketidakpastian. 

Kewirausahaan sebagai satu mata pelajaran pada awalnya diberikan pada jenjang pendidikan di sekolah-sekolah menengah kejuruan (SMK) seperti halnya di STM, SMEA, SMF, SPMA, dsb. 

Jenis mata pelajaran ini dalam struktur kurikulum sekolah kejuruan termasuk ke dalam kelompok mata pelajaran adaptif. Kelompok mata pelajaran adaptif sangat penting diberikan karena menyangkut pemahaman teori, konsep, dan landasan berpikir untuk mengimbangi dan menindaklanjuti kelompok mata pelajaran produktif yang nantinya menjadi spesialisasi (core competence) mereka. 

Penulis setuju dengan imbauan Gubernur Jabar, pendidikan kewirausahaan sangat penting, relevan, dan strategis sifatnya untuk segera diberikan di tingkat SMP dan SMA. Tidak hanya berbicara konteks kepentingan sekarang, tetapi juga masa yang akan datang. 

Dalam hal ini ada beberapa tinjauan terkait perlunya pendidikan kewirausahaan diberikan di tingkat pendidikan yang lebih rendah yaitu SMP maupun pada jenjang sederajat seperti di SMA/MA. Tinjauan-tinjauan tersebut meliputi tinjauan filosofis, yuridis, psikologis, pragmatis, dan kurikulum. 

Secara filosofis, hakikat pendidikan adalah upaya mengubah perilaku peserta didik agar menjadi lebih baik dalam banyak hal baik pengetahuan, sikap, maupun keterampilan. Pemberian mapel kewirausahaan adalah upaya sistematis dunia pendidikan untuk meningkatkan kemampuan daya pikir, sikap, dan keterampilan peserta didik supaya sejak awal memiliki jiwa dan semangat entrepreneurship (kewirausahaan) yang andal. Dalam mapel kewirausahaan ada sejumlah konsep tentang kemandirian, pengambilan keputusan, potensi, peluang usaha, dsb. 

Selain itu, pendidikan kewirausahaan memiliki kesempatan untuk mendorong peserta didik secara perlahan, tetapi pasti meninggalkan orientasi dan cita-cita hidup menjadi pekerja baik di instansi swasta maupun pemerintah yang jelas-jelas terbatas jumlahnya. 

Ditinjau dari aspek yuridis, prinsip pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia yang unggul, cerdas, mandiri, bertanggung jawab, dan demokratis. Output yang dihasilkan adalah manusia paripurna yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan. 

Melalui pendidikan kewirausahaan yang telah sejak dini diberikan baik itu di SMP maupun SMA, upaya untuk meningkatkan mutu keterampilan peserta didik dalam berbagai sektor kehidupan serta kejelian dalam menangkap peluang usaha untuk memperoleh pendapatan dari sektor-sektor informal menjadi semakin terbuka lebar.


Secara psikologis, konsep-konsep kewirausahaan sangat relevan diberikan pada jenjang SMP dan SMA. Pada masa-masa usia SMP dan SMA berada pada masa moratorium (pencarian jati diri). Pada usia inilah sebenarnya paling tepat untuk menanamkan sejumlah cara pandang dan orientasi hidup baru yang berbeda dari sebelumnya. 

Mengandalkan struktur kurikulum yang ada sekarang ini terkait life skill dirasakan masih sangat dangkal dan belum optimal. Pemberian pendidikan kewirausahaan dapat menjadi alternatif solusi yang tentu saja bersifat praktis-pragmatis terhadap kebutuhan yang diperlukan peserta didik. 

Pendidikan kewirausahaan dalam konteks kurikulum KTSP memiliki fungsi yang sangat strategis untuk menggali potensi dan keunggulan lokal dengan memberdayakan segenap kemampuan daerah melalui inovasi dan kreasi yang tinggi dari putra daerah masing-masing sehingga dapat memberikan nilai tambah ekonomi dan lapangan kerja yang menjanjikan.*** 

Penulis, Wakasek Kurikulum SMAN Rancakalong-Sumedang. 

Status : Anggota AGP PGRI Jabar 

klik desk anggota agp pgri jabar:
http://sekretariatagppgrijabar.blogspot.com/2011/02/daftar-anggota-agp-pgri-jawa-barat.html

Sumber :  pikiran-rakyat.com, 28 Juli 2008

Optimalisasi Musyawarah Guru Mata Pelajaran


Oleh : Rahmat Nuryadin

Keberadaan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) dewasa ini dirasakan kurang greget, tidak sehebat lembaga profesi guru lainnya seperti FAGI, FGII, FKGHS atau bahkan PGRI.

Membaca istilahnya tentu sudah tidak asing lagi. Ya, MGMP, musyawarah guru mata pelajaran, sebuah wadah tempat berkumpulnya guru-guru mata pelajaran tertentu. Berdiri sejka 1980-an sebagai upaya meningkatkan kualitas guru melalui pelatihan yang bersifat on service training.

Walaupun sudah lama berada, akrena mungkin namanya musyawarah, forum ini dirasa kurang bergema, bahkan vakum.  Ketidakeksisannya ini membuat MGMP tidak memiliki daya saing (bargaining power) terutama terhadap pemerintah dalam hal ini dinas pendidikan yang notabenenya adalah bidan yang membantu melahirkan wadah ini.

Menurut penulis, masalah yang dihadapi MGMP sehingga kurang diminati guru itu sendiri dan tidak diperhitungkan oleh stakeholders adalah kurang optimalnya penggarapan MGMP sebagai wadah profesi guru.  Pada tingkat pengurus, kegiatan ini merupakan hal yang bersifat tambahan, karena utamanya yakni mengajar di sekolah masing-masing.

Relatif jauhnya domisili tempat kerja atau tempat tinggal antarpengurus membuat komunikasi menjadi renggang.  Hal ini membuat program kerja terencana dengan tidak baik dan cenderung bersifat sporadis, memperkirakan apa yang dibutuhkan oleh guru (need assemment) pada saat itu.  di sekolah juga kegiatan yang satu ini kurang direncanakan sehingga ketika ada panggilan berperan serta, penugasan kepada guru terkesan asal mengikutsertakan saja.

Pemerintah pun kurang mendukung keberadaan kegiatan ini. Itu dapat dilihat dari sedikitnya kegiatan MGMP yang berlangsung. Masalah lain yang timbul adalah masalah klasik, biaya.  Dengan alas an ini sekolah hanya mengirimkan satu orang guru pada setiap kegiatannya.  Ini dapat dijadikan masalah baru, kecemburuan sosial, karena setiap guru pada prinsipnya berkeinginan mengambil bagian, sedangkan sekolah membatasi jumlah pendidik untuk diberangkatkan.

Meskipun pemerintah mengakomodasikan peningkatan mutu guru melalui program PKPS BBM BOS, namun program ini tidak menjamin kegiatan dapat berlangsung secara baik.  Hanya kepala sekolah yang mempunyai komitmen tinggi terhadap pendidikan yang biasa mengirimkan lebih dari satu tenaga pendidiknya pada kegiatan ini. Pengurus pun hanya dapat mengandalkan biaya swadaya peserta sebagai biaya operasional kegiatan yang digunakan untuk konsumsi dan panduan kegiatan peserta, dan transportasi nara sumber.  Tidak jarang pengurus harus rela nombok demi kelancaran even tersebut.

Masalah biaya juga membuat forum ini menjadi miskin ilmu, dangkal akan pengetahuan yang didapat, karena di dalam menjalankan kegiatannya keberadaan nara sumber sebagai penyaji materi sering kali diambil dari pengurus itu sendiri atau memanfaatkan pengawas dinas pendidikan di mana awalnya nara sumber untuk MGMP adalah guru yang dilatih secara terpusat (in service) untuk setiap provinsi dan kabupatennya (guru inti).  Hal ini berimbas kepada ketertarikan peserta untuk berpartisipasi, karena materi sajian dan nara sumber menjadi daya tarik tersendiri bagi guru. Tahun 2006, ada angin segar dari pemerintah dalam hal ini Depdiknas melalui Dirjen PTMPTKyang telah menggulirkan block grant untuk pelaksanaan revitalisasi KKG dan MGMP untuk tiap kabupaten.

MGMP adalah sebuah wadah yang besar dan tersebar, mulai tingkat gugus, kabupaten bahkan provinsi.  Tetapi walaupun demikian wadah ini bisa dikatakan kecil karena MGMP terbagi berdasarkan mata pelajaran, pengelolaannya terpisah sehingga kegiatan yang dilakukan cenderung parsial, berbeda mata pelajaran dan tingkat cakupan daerahnya.

Hal ini membuat rendahnya nilai tawar yang dimiliki wadah ini.  Menghadapi hal tersebut diperlukan suatu tatanan manajemen yang dapat menyatukan satuan-satuan forum ini sehingga memperkokoh keberadaannya.****

Penulis, pengajar di SMPN 2 Pangalengan Kab, Bandung


Status : Anggota AGP PGRI Jabar

klik alamat link anggota agp pgri jabar:
http://sekretariatagppgrijabar.blogspot.com/2011/02/daftar-anggota-agp-pgri-jawa-barat.html 
Sumber :
Pikiran Rakyat, 26 Feb 2007

Plagiarisme dan Kenaikan Pangkat


Oleh: Drajat


Belakangan ini dunia pendidikan terenyak dengan pemberitaan di media cetak dan elektronik bahwa sekitar 1.500 guru di Pekanbaru, Riau terancam kena sanksi karena karya tulis yang mereka buat diindikasikan karya orang lain alias plagiat.  Sementara harian ini, Rabu, 10 Februari 2010, memberitakan dengan gamblang: seorang guru besar diduga menjiplak.

Guru Besar Jurusan Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan Bandung ini dituding menjiplak karya Carl Ungerer, seorang penulis asal Australia.  Kolumnis Kompas dan The Jakarta Post ini setidaknya melakukan enam kali plagiarisme.

Dibalik kemirisan ini, penulis mendapat angin segar.  Apa pasalnya? Anak-anak kelas I SD begitu piawai menulis! Ya, menulis menjadi habit yang tidak bisa dipisahkan dari aktivitas belajar.  Setiap hari mereka begitu tekun menulis tentang pengalamannya, terutama kegiatan selama di sekolah dari pukul 07.30 sampai pukul 13.00.

Beragam cerita mereka tulis, dari masuk sekolah, mengikuti kegiatab belajar , istirahat, wudu. Shalat berjamaah dan beragam tulisan lain.  Ada yang menulisnya dengan waktu yang tersusun. Namun, tidak sedikit mereka menulisnya dalam bentuk cerita.

Tulisan itu, misalnya “Hari ini aku senang sekali. Ya, aku senang karena aku bertemu dengan teman-teman dan guruku di sekolah.  Ada Faza yang badannya besar.  Ada Wildan yang badannya kecil tapi senyum aja. Ada Ajeng temanku di TK. Aku juga senang kalau istirahat makannya suka sama-sama. Habis istirahat tak lupa cuci tangan.

Lalu bermain ayun-ayunan. Laluaku belajar lagi sama bu guru dan pak guru di kelas.  Eh, enggak terasa suara azan di mesjid terdengar. Lalu Pak Sonny dan Bu Rida ngasih tahu agar cepat-cepat berwudu untuk salat berjamaah. Habis itu aku dan teman-teman siap untuk pulang.

Ada juga anak-anak yag menulis seperti berikut, “Jam 07.30 aku baris di halaman sekolah, kemudian masuk belajar matematika samapi pukul 09.30, lalu istirahat samapi jam 10.00 dan belajar lagi bahasa Indonesia sampai pukul 12.00. Lalu aku shalat dan berdo’a pulang.”

Setiap hari
 Perlu penulis sampaikan, mereka melakukan kegiatan tersebut setiap hari. Waktunya menjelang pulang sekolah. Artinya, kami memberikan porsi khusus untuk menulis menjelang pulang.  Kami sepakat punya mimpi, alangkah indahnya nian jika suatu ketika, katakanlah selama setahun penuh, mereka menulis.  Itu berarti ada puluhan, bahkan ratusan halaman yang mereka tulis.

Terlebih  ada penerbit yang baik hati menerbitkan tulisan mereka.  Dengan pasti, kebahagiaan semakin lengkap, bukan.  Itu paling tidak menjadi catatan harian pribadinya yang suatu saat ketika lulus dari SD, dia bisa membuka album kenangannya.

Apakah itu akan terjadi? Pasti terjadi jika Allah SWT meridoi niat ini dan didukung ketelatenan sendiri.   Toh, kegiatan semacam ini sebelumnya sudah kami lakukan terhadap kakak kelasnya, kelas II (sekolah kami baru ada kelas I dan II).  Alhamdulillah, tatkala kenaikan kelas tiba, catatan harian mereka dibukukan.  Itu pun mereka lakukan sendiri. Buku tersebut dikemas menurut selera mereka masing-masing. 

Tatkala pembagian rapor, mereka tidak hana menerima nilai akademis, tetapi sekaligus menrima bingkisan catatan harian mereka sendiri.  Untuk memotivasi mereka, kami membuat secara menarik mungkin. Setiap anak menerima reward dan sertifikat yang tentunya dihadiri orang tua masing-masing.

Dari kisah tersebut, apa dapat Anda katakana dengan dunia menulis? Bagi kami sebagai guru, ini tentunya tidak bisa dipisahkan dari aktivitas keseharian menulis, baik ketika mengajarkan di depan siswa maupun pada persiapan mengajar.  Namun, lagi-lagi tidak sedikit yang  masih mengeluh bahwa menulis adalah pekerjaan sulit apalagi menulis di Koran, buku atau apapun yang sifatnya diwartakan dan dibaca orang lain.

Dibuat buku
Jangan, jangan putus asa. Apa yang dilakukan anak-anak seperti yang penulis paparkan di awal bisa kita lakukan pada diri sendiri.  Setiap mengajar di kelas, misalnya, guru tentunya sudah menyiapkan bahan pelajaran yang akan disampaikan. Untuk menambah tulisan, lengkapilah dengan pengalaman ketika guru menyampaikan hari itu.

Setiap kegiatan  yang guru lakukan dikumpulkan dan disusun sedemikian rupa.  Maka dalam waktu setahun, pasti materi yang disampaikan tuntas untuk satu buku.  Katakanlah saat mengajar di kelas 1, akan terwujud buku kelas 1. Pun demikian  dengan kelas-kelas berikutnya.  Jika mengajar di SD, sudah berapa jilid buku yang dapat dibuat? Demikian selanjutnya.

Dengan demikian, pembutan karya tulis ilmiah atau semacamnya yang merupakan prasyarat kenaikan pangkat dari golongan IVa ke IVb atau ke yang lebih tinggi bukan menjadi momok lagi karena sudah melekat dengan keseharian. Maka, guru terhindar dari perilaku yang tidak terpuji semacam plagiat. Bukankah begitu?***

Penulis, Mantan guru SD dan Kepala SMP Salman Al-Farisi Bandung. Kini Guru SMPN 1 Cangkuang Kab. Bandung.

Sumber : Kompas Lembar Jawa Barat, Riungan, 18 Feb 2010

Minggu, 06 Februari 2011

Kecerdasan Interpersonal Siswa

a


 oleh  WAWAN SUDARWAN

KECERDASAN interpersonal adalah kemampuan seseorang dalam menjalin hubungan antarpribadi atau dengan orang lain yang ada di sekitar. Kemampuan ini harus dilatih dan dikembangkan sejak masa kanak-kanak di samping kemampuan akademiknya.

Orang yang memiliki kecerdasan interpersonal yang baik dapat memahami perasaan, watak, suasana hati, dan maksud orang lain dan menanggapinya secara baik, sehingga tercipta suatu hubungan komunikasi yang baik dan nyaman. Sebaliknya orang yang kurang kecerdasan interpersonalnya, umumnya sukar berteman atau berhubungan dengan orang lain. Sukar mempercayai orang lain atau mengungkapkan diri di hadapan orang lain. Mereka tampak menyendiri dan tidak ramah.

Dampak lebih buruk lagi adalah bersikap egois dan tidak sensitif, tidak mempertimbangkan perasaan orang lain dan bersikap menyinggung perasaan oran lain. Namun mereka tidaklah buruk dan bermaksud demikian. Hal itu hanya memperlihatkan rendahnya kecerdasan interpersonalnya. Dalam kasus-kasus yang ekstrem bahkan kurangnya kecerdasan sosial menunjukkan perilaku antisosial, seperti ketidakjujuran, pelecehan, pencurian, pemerkosaan atau bentuk kejahatan yang lainya.

Banyak sekali orang yang tidak menyadari betapa pentingnya kecerdasan ini. Padahal kemampuan interpersonal yang baik sangat diperlukan dalam kehidupan pribadi, lingkungan pekerjaan atau dalam bermasyarakat. Mereka yang kecerdasan sosialnya terlatih sejak kecil akan mudah bergaul, berteman, dan berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya, sehingga dapat lebih berhasil dalam pekerjaannya atau mungkin mendapat jenjang karier lebih tinggi dan lebih cepat. Fakta dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan, orang-orang yang kurang cerdas secara sosial sulit berkembang dalam pekerjaannya atau lingkungan masyarakatnya, meskipun mereka pandai secara akademik. Sedangkan mereka yang cerdas sosial walaupun tidak memiliki IQ tinggi, mampu menjalin hubungan, kerja sama atau mempengaruhi dan memimpin orang lain.

Ada enam komponen yang harus kita fokuskan untuk mengembangkan setiap aspek kecerdasan interpersonal anak.

Pertama memahami perasaan orang lain. Untuk dapat memahami perasaan orang lain anak perlu belajar dulu rasa senang, sedih, marah, takut, kecewa, dan sebagainya. Tegur segera jika anak mulai bersikap tidak mengindahkan perasaan orang lain dan jangan beranggapan bahwa anak akan belajar bersikap lebih baik tanpa peringatan dari kita. Selalu diingatkan bahwa jika kita ingin diperlakukan baik oleh orang lain, maka kita pun meski berbuat serupa.

Kedua, berteman. Memberi kesempatan kepada anak untuk merasa nyaman bersama anak lain dan mengajarkan keberanian untuk berteman adalah keterampilan penting yang akan menguntungkannya di kemudian hari.

Ketiga, bekerja dengan teman-teman. Berlatih bekerja dengan teman akan menghasilkan serangkaian nilai positif dan keterampilan sosial yang akan membantunya tumbuh sehat, mudah menyesuaikan diri, dan kuat. Ini merupakan sumbangan pada aset perkembangan anak tersebut.

Keempat, belajar mempercayai. Belajar mempercayai orang lain adalah unsur penting dalam mempertahankan hubungan yang kuat dengan orang-orang yang kita sayangi dan bekerja sama dengan mereka.

Kelima, mengungkapkan kasih sayang. Menurut para psikiater, menerima dan memberi pelukan sangat penting bagi kita untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang mantap secara emosional. Secara teratur, peluklah anak kita dan doronglah mereka untuk memeluk kita dan teman-teman baiknya. Hal ini untuk membiasakan mereka mengungkapkan rasa kasih sayangnya.

Keenam, belajar menyelesaikan masalah atau konflik kemasyarakatan. Semoga dengan tulisan sederhana ini kita teringatkan kembali, bahwa pendidikan anak bukan semata proses pencapaian kecerdasan akademik dengan indikator angka-angka kumulatif. Malainkan membentuk kepribadian yang utuh sebagai insan mulia yang beramal.****


Penulis, Guru SMPN 1 Pagadenbaru


Status  : Anggota AGP PGRI Jabar

alamat link desk anggota:
http://sekretariatagppgrijabar.blogspot.com/2011/02/daftar-anggota-agp-pgri-jawa-barat.html
 
Sumber : Galamedia, 30 Okt 2009

Senyum Guru Memandu Kalbu


Oleh Untung Gautara, S.Pd.


Guru banyak utangnya. Rumah tangga guru menjadi kacau nyaris berantakan. Guru ditekan oleh kepala sekolah untuk melakukan pekerjaan yang bertolak belakang dengan hati nuraninya. Guru sibuk mengerjakan administrasi mengajar. Guru kewalahan menghadapi murid super nakal. Itu adalah beberapa contoh masalah yang dihadapi oleh guru dan bisa membuat guru stress. Wajahnya dingin kaku. Sensitif mudah tersinggung dan marah. Bibirnya terkatup rapat.  Tak ada sedikitpun aura  senyuman di wajahnya. Wajah guru jadi angker. Menakutkan.

            Sesungguhnya, guru yang sedang dalam kondisi seperti itu, adalah guru yang sedang kesusahan jiwa dan harus dibantu oleh teman-teman dan keluarganya.  Cobalah sampaikan kepadanya hadist nabi berikut ini, “Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah, perintahmu pada perkara yang ma’ruf dan laranganmu terhadap perkara yang mungkar adalah sedekah. (HR. Bukhari)”

            Senyum adalah sedekah. Sedekah bisa meringankan beban orang lain. Jadi, bermuka masam dan angker bisa menyusahkan orang lain. Lalu bagaimana kalau yang bermuka masam dan angker itu adalah guru? Siapa yang akan menjadi susah karenanya? Salah satu jawabannya adalah murid.

            Murid, adalah generasi masa depan.  Guru mempunyai kewajiban untuk mendidik dan mengajar murid agar segala potensi yang ada di dalam dirinya bisa tumbuh berkembang dengan maksimal. Kemaksimalan yang diinginkan itu tidak akan pernah tercapai bila guru tidak becus menjadi guru. Guru tidak mampu menciptakan suasana belajar-mengajar yang nyaman menyenangkan bagi murid dan guru itu sendiri. Suasana tegang mencekam seperti dalam perang di era penjajahan bukan suatu kondisi yang baik untuk mentransfer ilmu yang dimiliki guru kepada murid. Wajah seram bagai algojo itu bukan wajah pendidik, bukan wajah yang pantas ditauladani. Jika ada guru yang bangga dengan profil seperti itu, agar introspeksi dengan kejujuran hati. Sebab akan banyak kemudharatan yang dituai. Bukan cinta yang didapatkan tapi dendam kebencian murid yang akan dibawanya  sekian lama sampai dia mampu memaafkan gurunya dengan tulus. Seorang Profesor yang mengajar di pasca-sarjana sebuah universitas pernah bercerita bahwa dia harus berhati-hati mengajar para muridnya supaya tidak sakit hati seperti yang pernah dia rasakan ketika SD pada gurunya yang galak. Dendamnya masih terasa sampai kini dia jadi professor. Jadi kalau guru ingin tetap menjadi guru, sesusah apapun tersenyumlah!

            Suasana hati sedang runyam tapi harus tersenyum. Pasti akan terasa hambar. Itu karena tidak terbiasa. Tapi kalau sudah terbiasa tersenyum walaupun suasana hati segetir apapun, tak akan terasa hambarnya. Justru senyuman mampu mengendurkan otot-otot syaraf  hingga tidak tegang. Suasana hati akan berangsur menjadi lebih relax. Doktor R.A. Nainggolan dalam bukunya Sepuluh Dokter Alamiah halaman 92 menjelaskan bahwa salah satu obat alamiah untuk menghilangkan stress adalah dengan, “Selalulah tersenyum yang lebar. Buatlah pula senyum di mata yang berbinar-binar. Kemudian katakan di dalam hati, jiwaku senang, jiwaku tenang.” Pendapat di atas diperkuat oleh seorang psikolog terkenal, Donna Dawson yang berpendapat bahwa, “Ada macam-macam senyum, tetapi yang tulus, asli adalah tersenyum spontan dengan  bibir mengembang dan santai, disertai mata berbinar atau menatap lembut, tergantung pada konteks dan arti senyum itu.”

            Senyum Monalisa. Begitu terkenalnya. Padahal itu senyum wanita  di dalam lukisan. Itu bisa diartikan bahwa orang se-dunia ini,  yang sehat jiwa dan raga sangat menyenangi dan merindukan senyuman. Senyumnya manis semanis madu. Senyumnya merekah bagaikan sekuntum bunga mawar. Senyumnya meruntuhkan hati. Orangnya tidak rupawan tapi kalau sudah tersenyum ramah, dia sangat mempesona. Senyumnya menyejukkan kalbu. Itu adalah kalimat-kalimat ungkapan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yang kalau dikaji bisa diartikan sebagai pengakuan bahwa senyum itu mempunyai power. Apalagi kalau senyuman itu milik seorang guru. Orang yang digugu dan ditiru. Pasti powernya sangat dahsyat. Tapi bagaimana kalau senyum itu hilang? Berarti power itu juga hilang. Wahai guru, sesusah apapun tetaplah ikhlas tersenyum agar power yang engkau miliki tetap memandu murid-muirdmu.

Kekuatan senyuman guru
            Bila guru berwajah kecut masam apalagi selalu marah-marah, membuat suasana kelas tegang, hingga memuakan, tentu kegiatan belajarnya menjadi kurang berarti bahkan bisa gagal. Di harapkan  uraian di atas mampu membuat pencerahan,  kesadaran,  dan kebanggaan diri akan kekuatan atau power senyuman guru,  akan sangat berpengaruh positif bagi murid-muirdnya. Kekuatan senyuman guru itu diantaranya sebagai berikut;

1.        Menyenangkan hati.
Senyummu tidak akan mengurangi kewibawaanmu. Senyummu akan menciptakan rasa simpati pada hati murid-muridmu. “Hai, anakku!” Sapaan dilakukan sambil tersenyum yang tulus. Murid akan merasa diperhatikan, diakui keberadaannya, dihargai, dan disayangi. Dia senang. Dengan hati senang, belajarnya akan maksimal. 

2.        Menyejukan amarah.
Problema atau masalah kehidupan tidak hanya dialami oleh orang dewasa. Murid yang masih anak-anak atau remaja juga memiliki problema. Banyak diantara mereka yang tidak bisa menyelesaikan problemanya. Mereka jadi marah-marah. Walau bagaimanapun guru juga terbatas kemampuannya. Tidak mungkin juga mengetahui semua permasalahan murid-muridnya. Tapi dengan sapaan kecil yang bersahabat,  dan menularkan senyuman yang ramah, akan menyejukan amarah murid. Apalagi kalau guru bisa membaca ekspresi wajah murid dan memberinya waktu untuk curhat di kala istirahat. Maka jadilah guru penyejuk jiwa.

3.        Penyemangat belajar
Semangat belajar murid bisa naik turun. Banyak faktornya. Misalnya karena faktor stamina tubuh murid. Di pagi hari mereka bersemangat. Tapi ketika tengah hari mulai loyo dan lesu. Seorang guru yang cerdas, tampil  fresh dengan senyuman yang mengembang ceria. Itu adalah energi dari guru yang akan membangkitkan semangat murid-muridnya untuk belajar.
4.        Memudahkan kesulitan.
Guru yang mempunyai senyuman, membuat murid merasa dekat seperti orang tua sendiri. Ketika dia mengalami kesulitan mempelajari sesuatu dia akan berani bertanya atau meminta pertolongan guru. Kepribadian gurunya tidak sulit. Pelajarannya yang sulit bisa terasa menjadi mudah karena sugesti positif yang berawal dari senyuman guru.

5.             Menciptakan kerinduan.
Libur yang terlalu panjang, akan membosankan juga bagi murid. Terlebih lagi kalau ingat guru yang selalu tersenyum ikhlas penuh kasih sayang dan kesabaran. Rindu ingin melihat senyumannya. Senyum yang ikhlas tak akan pernah membosankan. Murid jadi rindu setiap hari. Murid jadi berangkat sekolah setiap hari walaupun sakit. Bagi guru, ini adalah prestasi.

6.             Menimbulkkan inspirasi.
Saya ingin sabar seperti guru A. Saya ingin ramah seperti guru A. Saya ingin menjadi guru untuk melanjutkan perjuangan guru A mencerdaskan bangsa. Saya ingin berkharisma seperti guru A. Saya tidak ingin menjadi guru tapi ingin jadi presiden yang menyayangi orang kecil seperti nasehat guru A. Itu artinya guru A telah menjadi inspirator bagi murid-muirdnya. Tidak banyak guru yang mampu menjadi inspirator. Tetapi bukan berarti tidak mungkin. Salah satu  langkah awalnya yaitu dengan senyuman ikhlas kepada murid-muridnya.

7.             Menerbitkan cinta.
Namanya saja dunia, jadi tidak mungkin semua murid mencintai guru yang sudah maksimal berusaha menjadi guru yang guru. Bukan guru-guruan. Tapi kalau sudah 51% saja sebagian murid mencintai guru tersebut, berbahagialah duhai guru. Tapi percayalah tidak akan 51%, melainkan 90% atau 99%. Sisa penggenap menjadi seratus persennya akan datang menyusul setelah dia menyadari bahwa apa yang dilakukan oleh gurunya adalah untuk kebaikannya. Kekuatan senyuman guru sekarang atau nanti akan  menerbitkan cinta.

Senyuman guru memandu kalbu murid-muridnya. Murid yang sedih jadi senang. Murid yang marah jadi damai. Bagi murid yang sedang merasa malas jadi bangkit lagi semangat belajarnya. Kalau ada murid yang sedang merasa kesulitan menjadi merasa ringan beban hatinya.  Senyuman tulus guru menjadi kesan yang dalam di dalam kalbu murid hingga selalu rindu, selalu ingin belajar bersama sang guru. Di dalam hati murid, terbit rasa sayang dan cita-cita untuk menauladani gurunya. Tersenyumlah duhai guru, karena senyummu menuntun kalbu muridmu, meraih cita-cita untuk sukses masa depannya, yang berarti baik pula masa depan bangsa Indonesia. (**//)

Penulis, Guru Bahasa Inggris SMK N 1 Anjatan, Kab. Indramayu

Status  : Anggota AGP PGRI Jabar

alamat link desk anggota:
http://sekretariatagppgrijabar.blogspot.com/2011/02/daftar-anggota-agp-pgri-jawa-barat.html
 
Sumber : Majalah Suara Daerah 

Drama dan Minat Siswa terhadap Sastra


Oleh LENA FERA HERLIANA, S.Pd.

Kemampuan bersastra siswa masih rendah. Hal ini dibuktikan dengan masih sulitnya mereka mengapresiasi karya sastra. Kurang minatnya membaca karya sastra terkalahkan oleh bermain Facebook, game, menonton sinetron atau film. 


DALAM proses pembuatan drama sebetulnya bukanlah hal yang baru dalam pembelajaran sastra. Para siswa berdiskusi dalam menentukan topik, menulis naskah drama, menentukan siapa peran antagonis, protagonis, memilih kostum, dan memadukan musik dengan alur cerita. Motivasi siswa dalam berkarya, terutama karya sastra merupakan hal yang penting. Siswa akan mampu mengaplikasikan olahan imajinasinya ke dalam bentuk tampilan drama. Siswa diharapkan mampu mengembangkan bakat, potensi, dan kreativitas dalam menulis, serta bermain peran.

Peranan drama dalam peningkatan minat siswa terhadap karya sastra sangat besar. Bermain drama temyata ampuh untuk meningkatkan minat siswa terhadap sastra. Melalui penyusunan naskah drama, diharapkan siswa bisa berpikir kritis dalam menangkap segala fenomena yang terjadi di masyarakat. Proses bermain peran dapat pula memupuk solidaritas, kekompokan, dan kerja sama, serta mampu mengasah empati di antara siswa. Bahkan, dalam berdiskusi dan berlatih drama, sangat dimungkinkan terjadinya penularan perilaku positif antarsiswa, termasuk dalam hal peningkatan motivasi dan semangat meraih prestasi.

Ada beberapa langkah rang dapat dilakukan dalam proses pembelajaran drama. Sebagai langkah awal, siswa ditugaskan membuat naskah drama yang temanya ditentukan oleh mereka sendiri. Langkah berikutnya, setiap pertemuan, tampil satu kelompok untuk me-mentaskan pertunjukan drama. Pertunjukan mereka selain dinilai oleh guru, juga dinilai oleh teman-teman mereka.

Langkah lain yang bisa dijadikan alternatif adalah mengumpulkan tugas dalam bentuk CD dan diputar di ruang multimedia. Kegiatan tersebut diakhiri dengan diskusi dan tanya jawab, yang disaksikan juga oleh guru. Hal ini melatih siswa menyukai sastra dan menambah kecintaan anak didik terhadap mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Siswa betul-betul menemukan sesuatu berdasarkan pengalaman yang dialami sendiri. Guru hanya berperan sebagai fasilitator, penguatan materi, dan pembenahan.Siswa dengan penampilan terbaik diberi penghargaan. Hal ini dimaksudkan agar siswa bersemangat untuk lebih baik dalam berkarya.

Melalui kegiatan pementasan drama, siswa memperoleh pengalaman:
1. Membangun rasa percaya diri. 
    Mereka merasa lebih berhasil dalam hidup dan bergembira dalam waktu yang bersamaan.
2. Menciptakan hubungan yang lebih akrab dengan sesama teman-teman.
3. Belajar mengendalikan diri dalam menghadapi perbedaan, misalnya tentang penentuan tema yang
    akan disampaikan kepada penonton.
4. Memiliki daya kreatif dan kritis dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
5. Memiliki mental yang kuat dalam menghadapi hidup.
6. Merasa senang ketika belajar.
7. Memiliki sikap toleransi dan bersemangat, untuk tema berjuang melalui pengungkapan ide cerita 
    dalam drama.
8. Mengubah perilaku seni yang sebelumnya hanya sebagai penikmat atau penonton, 
    sekarang jadi pelaku langsung. Hal ini memunculkan kepuasan tersendiri.
9. Meningkatkan kecerdasan berpikir dalam menuangkan ide kreatifnya.

Mudah-mudahan usaha sederhana ini dapat bermanfaat dalam meningkatkan minat sastra siswa khususnya, maupun pembelajaran bahasa Indonesia pada umumnya."

*Penulis, guru SMA Negeri 18 Bandung.

Status : Anggota AGP PGRI JAbar

klik alamat desk anggota:
http://sekretariatagppgrijabar.blogspot.com/2011/02/daftar-anggota-agp-pgri-jawa-barat.html
 
Sumber : Pikiran Rakyat

Menumbuhkan Kecintaan Berkoperasi di Sekolah

oleh : Karnita


"Pada generasi tak ada majikan dan tak ada buruh, semuanya pekerja yang bekerja sama untuk menyelenggarakan keperluan bersama," ujar Bung Hatta setiap merayakan Hari Koperasi sejak 12 Juli 1951. 
BANGSA Indonesia mestinya tidak hanya mampu merdeka dan berdemokrasi secara politik, tetapi juga mampu merdeka dan berdemokrasi secara ekonomi. Menurut Bung Hatta, "Rakyat Indonesia hanya dapat melepaskan dirinya dari lumpur kemiskinan jika ekonomi rakyat Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan koperasi". Tegasnya, koperasi adalah suatu bangun perekonomian yang sesuai dengan amanat penderitaan rakyat yang tertuang di dalam UUD 1945 pasal 33 serta penjelasannya. 

Koperasi adalah amanat penderitaan rakyat Indonesia. Memajukan dan mengembangkannya bukan persoalan selera seorang pemimpin atau pembesar yang sedang berkuasa. Semua komponen bangsa seyogianya mendukung dan berpartisipasi secara riil dalam membangun koperasi. Ironisnya, pada usianya yang ke-61 ini, kontribusi koperasi dalam pembangunan ekonomi masih sangat kecil, bahkan termarginalkan. 

Menurut Prof. Dr. Mubyarto, sektor swasta demikian menggurita sampai menguasai 86%, sektor negara (BUMN) 12%, dan sektor koperasi hanya 2%. Kepala Dinas KUKM Jawa Barat Mustopa Djamaludin mengatakan, jumlah koperasi di Jabar saat ini sekitar 22.562 unit dengan anggota 6 juta orang. Lebih kurang 24 persen koperasi yang ada tidak aktif. 

Potret buram koperasi juga masih mewarnai profilnya saat ini. Beberapa indikatornya, antara lain korupsi para pengurusnya, manajemen yang kurang profesional, kurangnya permodalan, dan lemahnya kemampuan negosiasi pengurusnya. Kendala-kendala yang dihadapi koperasi tersebut berimbas pada semakin kecilnya minat masyarakat untuk berkoperasi.
Peran sekolah 

Dalam rangka pembangunan koperasi, sekolah seyogianya dapat mengambil peran penting tersebut. Sekolah merupakan institusi yang paling ideal dan strategis dalam upaya menumbuhkan kecintaan pada koperasi. Menanamkan kecintaan pada koperasi sejak anak duduk di sekolah dasar diharapkan mampu memberikan kontribusi yang besar pada masa mendatang. Upaya itu tidak hanya cukup dengan memberikan materi koperasi di mata pelajaran IPS (SD) dan ekonomi (SMP/SMA), tetapi juga anak harus diajak praktik dalam kegiatan ekstrakurikuler dan dibimbing dengan baik. 

Saat ini deskripsi umum koperasi siswa kurang berkembang. Kalaupun ada, baru sebatas menyediakan toko koperasi yang dikelola oleh para siswa yang memilih ekskul tersebut. Kegiatan aktivitasnya belum diarahkan untuk menerapkan prinsip-prinsip dan mekanisme berkoperasi yang baik. Padahal, lebih penting lagi adalah bagaimana agar praktik berkoperasi itu mampu menanamkan nilai-nilai luhur dalam berkoperasi, seperti bermusyarawah, berekonomi, bersosial-budaya, bergotong royong, dan kekeluargaan melembaga dalam dirinya hingga dapat dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat kelak. 

Adalah tanggung jawab kita semua untuk menyerasikan antara semangat koperasi dan koperasi sebagai organisasi sehingga koperasi menjadi saka guru ekonomi Indonesia dapat terwujud. Oleh karena itu, dibutuhkan seperangkat tindakan yang mendasar agar koperasi didudukkan dalam cakrawala ekonomi nasional.
Dalam hal inilah, di satu pihak kita perlu menilai kembali sejauh mana semangat koperasi telah melembaga di setiap usaha ekonomi, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat atau perorangan. Kemudian perlu ditetapkan bidang-bidang usaha yang tegas-tegas ditangani koperasi. *** 

Penulis, Ketua Badan Pengawas Koperasi Guru SMAN 13 Bandung, 

Status :Pengurus Asosiasi Guru Penulis PGRI Jawa Barat. 

klik alamat desk anggota agp pgri jabar:
http://sekretariatagppgrijabar.blogspot.com/2011/02/daftar-anggota-agp-pgri-jawa-barat.html  


Sumber : Pikiran Rakyat

Carpon : KELEPON


Ku :Ecep Yuli Sukmara

Geus jadi aturan Mas Mulyono salaku RT di lembur kuring, mun ningali, daptaran jadwal ronda malem Minggu, nu geus lakirabi, ti mimiti RT, Kuring, Kang Maman, Mang Nurdin, Dede, Kang Aceng jeung si Bohol. Ari barudak ngora mah biasa bae ngan ukur ngabaturan jeung bari nyoro udud meureun.
 “Baelah ambeh haneuteun, jeung aya purah nu ngaliwet”, ceuk mang Nurdin harita.

Ngan basa minggu tukang, asa teu ningali kang Aceng ngaronda, cenah mah aya kaperluan. Keur nyaba kanu hajat, adina nu di pakidulan. Duka bener henteu na mah lamun kang Aceng pareng hadir ngadak-ngadak sok calalenghar nu ngararonda teh, komo mun geus ngalalakon mah, sarerea oge tara masualkeun realistis jeung henteuna nu penting rame.

Keur aranteng gapleh ari torojol teh Kang Aceng mawa bungkusan nu eusina dahareun.
”Tah barudak kakaren ….euy !”
“Ah, enggeusan wae euy ..! diterusken oge moal bale,” si Bohol bari pakupis leungeunna ngarongkong bugis.
 “Aaaa….anjiii….rrr ! leungeun dewek  kajejek siah…. Deon!”
 “Maap Mang  ! teu kahajaa… !” ceuk si Deon.
“Beresan ..euy kartuna ! Ang, ! Keur piparagieun deui !” sora mang Nurdin.
“Ke heula sakodooong kagok, Ciuu.. ! lah” bari semu ngasom.
 “Betah Kang..di kidul teh?” ceuk kuring
 “Ah kaluman, jeung cape dijalanna Ruuuu….! Badis wae wahangan saat,” walon Kang Aceng bari mesat ngaluarkeun roko tina pesak jeketna. Bageur Kang Aceng ari kana dahareun mah,  ngan mun palebah roko sok dipirit siga nyabut gobang ceuk si Bohol tea mah.
“Lainnya beda tempat, beda kabiasaan, beda pangaresep, jeung beda pangabeuki, Ruu… nya?”ceuk Kang Aceng deui. 
“Tah…tah… sigana mah rek ngamimitian ngalalakon..yeuh!” gerentes kuring.
“Aaaah… naha bujur baseuh ieu teh….paiiingan ! Pangnyokotkeun ellaap....! Deeooon” Sruuutt…cereleeeng, aya nu disada. Gek kang Aceng diuk deui.
 “Heueuh da sagala rupa oge mun geus beuki jeung karasa ngeunahna. Tong boro karek kajejek model sayah ceuk paribasa oge tunggul dicaruk catang dirumpak,” si Bohol mere asumsi.
“Asa inget dongengna Ki Alsiam basa adi mitohana kapapatenan ditinggal maot ku salakina, biasa di lembur eta mah sok ngayakeun tahlilan, tah nu kapapancenan pikeun mupuhuan tahlil teh Mama Ajengan nu boga pasantren di eta lembur.

Demi ari tuangeun nu dipikaseneng ku mama teu aya deui iwal ti kelepon. sapangeusi
lembur  oge tos aruningaeun atuh pribumi oge geus  surti kelepon mah tangtu kudu aya haturan mama, malahan  keleponna ge bade husus pesen ti bu Euis Susi, nu sok ngadamelan kelepon, sarerea ge moal bireuk deui kana kelepon bu Euis Susi mah mama ku anjeun kantos nyarios :
“Enyaan kelepon buatan Neng Tia mah rasana teh beda tinu sejen na make nanahaon, da bahanna mah meureun tina boled-boled keneh”
Kocapkeun prung wae tahlilan teh Mama Ajengan teu loba biantara, saperluna bae
malahan teu sirikna dikebut. Beres tahlil lalawuh gancang dikaluar-luarkeun  ku pribumi. Teu hilap kelepon malihan mah dijagragkeunana oge payunen Mama Ajengan pisan. Mama Ajengan ningal kelepon meni tos kumetap, atuh anjeunna ngemut bae sok inggis teu kabagean kelepon bari humandeuar na manahna.
 “Nu datang teh loba geuning, budak ngora ge biasa hararese kana tahlil mah teu siga lalajo bend ayeuna mah aya “
 Teu ku hanteu, ngadak-ngadak palebah tonggong Mama aya nu ateul, panangan dikatukangkeun maksadna bade gagaro, bareng jeung eta aya nu disada”KLIK” Peee….eeesss lampu pareum rohangan nu dipake tahlil poek mongkleng menang sababaraha kojepat mah 
“Laaakaadaaa…laaah siah!” gerentes Mama deui wae.
 ”Aah ..kumaha ieu teh lampu pareum!” ceuk nu aya dirohangan.
“Ku naon nya henteu  katincak mah kabelna.. !” soanten bu Juanah ieu mah.
 “Kadee… euy tong nyakuan roko ! budak ngora!”.   

Kaayaan teu puguh di tempat kajadian teh. Ari Mama waktu keur poek.
“Ah geus beres urang ceklekkeun deui siah stop kontak na” dina jero hatena. Bari pananganana dikatukangkeun deui sanggeus memener kopeah.

Na ari  bray  teh, sapada harita oge tempat teh caang deui. Ngan edas sarerea nu aya di rohangan tempat tahlil ngarasa heran.

 “Na aya kajadian naon, Kang? “ barudak di pos ronda raong.
 “Heueuh kelepon na piring hareupeun Mama nyampak geus euweuh ngan tinggal parud kalapana jeung siga sesa pangacakan”

Santri nu diuk kenca-katuhu gigireun Mama Ajengan teu lemek teu nyarek sieun katudingan.

 “Permios wae Mama mah moa lila…! Loba hanca,” bari ngojengkat cengkat.
Jedaak.. teh mastaka Mama tidagor kana lomari gantung nu aya luhureun mastaka dugi ka kopeah na murag, bareng jeung nu  racleng ngagorolong baruled tina mastaka Mama.

“Euleuuuh …Kelepon ! Kelepoonnn !!” sarerea meni raeng.
Pribumi hariweus-weus sieun Mama kumaha onam 
“Teu sawios-wios Mama…? Eta mastaka dugi ka baloboran geutih….!”nyampeurkeun bari rada mesem.

“Lain siaaaah.. ! Ieu mah lain geutih kincaaa! Kelepon deuleuuu!”
Saur Mama bari henteu poho ngaletak gula nu ngucur tina mastakana ku pananganana, kebat muru kaluar.

 “Naha nya da sakanyaho sayah mah, mastaka Mama Ajengan mah lenang. Geuning ari teu make kopeah mah ges cetuk huis,” ceuk budak ngora sowong.

“Lain siaaah eta mah lain huis, parud kalapa!” ceuk santri nu diuk gigireun urut Mama Ajengan. Bari cengkat rek nangtung “Jedaak!”sirah santri tidagor… Lesss…kapiuhan pada ngarerenyang.

 “Mun kadieu…nya ngagorolongna teh hiji wae rek disamualkeun ku sayah..” cek si Bohol bar jedak tarang  si Bohol tidagor kana kohkol di pos ronda eaaa…kk…eaaakkan .   ! Cag…ah ! ****

Penulis, Guru SDN Ciparay VI Kec. Ciparay, Kab. Bandung

Status : Anggota AGP PGRI Jabar

klik alamat desk anggota agp:
http://sekretariatagppgrijabar.blogspot.com/2011/02/daftar-anggota-agp-pgri-jawa-barat.html
 
Sumber : Majalah Suara Daerah

Ancaman Cultural Lag dan Mestizo Cultural

 oleh : Dedi Suherman


TIDAK dapat dimungkiri bahwa masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Hal ini disebabkan sifat masyarakat yang dinamis dan bergerak seiring dengan perubahan zaman serta akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
   
Proses perubahan sosial dapat berlangsung secara cepat atau lambat. Cepat-lambatnya perubahan sosial di setiap masyarakat berbeda-beda. Perubahan pada masyarakat kota akan lebih cepat dibanding masyarakat di desa. Perubahan sosial pada masyarakat ada yang berdampak positif mendorong kebaikan serta kemajuan, tapi banyak pula yang menjerumuskan pada keburukan dan kemunduran. Ada dua akibat perubahan sosial yang berdampak negatif terhadap kehidupan masyarakat, yaitu Cultural Lag dan Mestizo Cultural (Vina Dwi Laning, 2008).
   
Cultural Lag adalah suatu kondisi di mana terjadi kesenjangan antara berbagai bagian dalam suatu kebudayaan. Hal ini disebabkan perubahan pada suatu bidang tidak diimbangi perubahan pada bidang lainnya. Misalnya perkembangan pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tidak diimbangi peningkatan iman dan takwa pada masyarakat sehingga dapat menimbulkan ekses negatif bagi peradaban manusia.
   
Perkembangan teknologi komunikasi internet, misalnya, bila tanpa diimbangi kematangan moral setiap individu, akan menimbulkan masalah sosial dalam masyarakat. Segala macam ragam informasi via internet, jika tidak disaring dalam diri individu, akan jadi bumerang bagi individu itu sendiri, masyarakat, dan bangsa.
   
Contoh, tayangan situs-situs porno saat ini banyak dikonsumsi oleh siapa saja, termasuk anak-anak di bawah umur. Hal ini merupakan ancaman yang membahayakan bagi peradaban manusia. Bukan kemajuan yang terjadi, melainkan kehancuran moral yang akan terbukti. Memang, tanpa teknologi, perubahan sosial masyarakat akan berjalan lambat, tapi bila tidak dilandasi kekuatan moral dan spiritual, kemajuan teknologi akan mempercepat kehancuran budaya. Bukan melahirkan manusia beradab, tapi akan memunculkan manusia biadab.
   
Mestizo Cultural adalah suatu proses pencampuran unsur kebudayaan yang mempunyai sifat dan warna yang berbeda. Gejala ini ditandai dengan adanya pola konsumsi yang berlebihan dan sikap pamer kekayaan antarmasyarakat (materialistis dan hedonis).
   
Contohnya teknologi handphone (ponsel) pada kalangan remaja dan anak-anak yang saat ini seperti jamur di musim hujan. Handphone dianggap barang penting dalam pergaulan sekaligus ajang peningkatan prestise.
   
Memang handphone dapat menjalin hubungan komunikasi yang efektif dan efesien. Tapi bila para penggunanya tidak didasari sikap moral dan kekuatan spiritual malah menimbulkan ekses negatif yang sangat membahayakan peradaban.
   
Ini adalah contoh kasus yang pernah penulis dengar. Ada seorang siswa SD  kelas 6 di daerah terpencil dari kalangan masyarakat kurang mampu. Ia membawa handphone ke sekolah. Ketika jam istirahat, dia mengajak teman-temannya menyaksikan adegan syur (video porno) pada handphone-nya di belakang sekolah.
   
Ketika mereka ramai-ramai asyik menyaksikan adegan yang tak layak untuk dilihat anak usia sekolah dasar, mereka tepergok oleh penjaga sekolah kemudian dilaporkan kepada Kepala Sekolah. Handphone-nya kemudian dirampas, dan Kepala Sekolah berikut guru-guru hanya mengusap dada sambil beristigfar melihat adegan syur pada pesawat ponsel siswanya.
   
Kemudian pihak sekolah memanggil orang tuanya. Ketika orang tuanya diberitahu, ia mengatakan bahwa ia tidak tahu ada adegan menjijikkan pada handphone anaknya, bahkan kata dia jangankan tahu isi handphone, memakainya juga dia tidak bisa. "Lalu mengapa Bapak membelikan handphone kepada anak Bapak?" tanya Kepala Sekolah. Ia menjawab anaknya tidak mau sekolah bila tidak dibelikan handphone karena teman-teman sebayanya banyak yang memiliki handphone.
   
Kasus seperti tersebut di atas sudah terjadi di desa terpencil di pinggiran hutan, apalagi di kota metropolitan, barangkali kasus tersebut telah marak di kalangan siswa SD, remaja SMP, dan SMA. Di kalangan mahasiswa hal tersebut mungkin malah sudah jamak.
   
Kemajuan teknologi komunikasi memang dapat menghancurkan akhlak generasi muda. Kemajuan ilmu dan teknologi tanpa diimbangi kekuatan iman dan takwa justru berefek negatif. Nantinya bukan membawa ke arah kemajuan, tapi menjerumuskan ke jurang kemunduran kembali kepada kondisi masyarakat primitif.
   
Contoh lain adalah pakaian minim yang mempertontonkan aurat. Dahulu hal itu merupakan hal tabu bagi para gadis remaja di pedesaan, tapi kini rok mini menjadi busana yang digandrungi gadis di pedesaan. Sifat lugu dan feminin mereka mulai luntur dan pudar. Perubahan sosial ini terjadi akibat kecanggihan teknologi komunikasi yang lepas kendali.
   
Masuknya jaringan listrik ke peloksok desa diiringi meluasnya siaran televisi dari berbagai chanel. Acara-acara TV yang menayangkan berbagai perilaku masyarakat kota dan mancanegara memengaruhi perubahan sosial masyarakat desa. Sayangnya, budaya negatif lebih mudah ditiru.
   
Quo vadis peradaban manusia bila perubahan sosial masyarakat mengarah kepada kerusakan moral? Krisis ekonomi global dewasa ini telah mengguncang kestabilan sosial sehingga telah meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan. Tapi krisis akhlak dan dekadensi moral akibat pengaruh teknologi komunikasi yang lepas kendali lebih membahayakan bagi peradaban.
   
Semoga hal ini menjadi perhatian semua pihak agar bersama-sama mengantisipasi dan mencari solusi untuk mengatasinya. Sebab, sejarah perjalanan hidup manusia telah membuktikan bahwa penyebab kehancuran dan kebinasaan masyarakat masa silam karena rusaknya moral dan peradaban. (*)

Penulis, Guru SDN 1 Jati Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat

Status : Anggota AGP PGRI Jabar

klik alamat desk anggota :
http://sekretariatagppgrijabar.blogspot.com/2011/02/daftar-anggota-agp-pgri-jawa-barat.html 

Sumber : Tribunjabar

Membangun Budaya Menulis di Sekolah

Oleh: Herlan Firmansyah


“Menulis adalah tindakan konkret dan praktis, agar mampu menulis, orang harus melakukannya. Hanya dengan menulis kita dapat belajar menulis. Tanpa melakukannya, kita tak akan pernah mampu menulis dengan baik”, itulah simpulan yang penulis tangkap dari ungkapan H.Wakhudin redaktur sebuah surat kabar terkemuka dalam suatu kesempatan Seminar dan Lokakarya Karya Tulis Ilmiah (KTI) dan Karya Ilmiah Populer (KIP) diselenggarakan AGP PGRI Jawa Barat  pada hari Sabtu 19 Januari 2008 di GGI Cianjur.

Memang demikian, bahwa dengan mencoba untuk memulainya, suatu potensi kompetensi yang ada dalam diri dapat terkembangkan, keberanian menggoreskan tinta di atas selembar kertas untuk menuangkan gagasan memang tak semudah membalikan telapak tangan, terlebih karya ilmiah yang harus mencirikan tiga identitas keilmiahan yakni sistematis, empirik dan objektif. Namun tanpa mencoba untuk memulainya, mustahil kompetensi (baca:menulis) itu akan terkembangkan.

Motivasi untuk mulai menulis dapat bersumber dari adanya niat dan tekad yang kuat dalam diri untuk bisa menulis dan dapat pula karena stimulus faktor eksternal, seperti karena adanya iming-iming hadiah, tuntutan pengembangan profesi, dorongan teman atau pimpinan, tawaran yang diberikan pihak penerbit, atau karena adanya media yang menunjang untuk mengaktualisasikan dan mempublikasikan tulisan.

Dalam rangka mengasah kemampuan memulai dan membangun budaya menulis di kalangan siswa dan guru, sekaligus sebagai media komunikasi antar guru dan siswa, serta antar pihak sekolah dengan stakeholder, baik dilingkungan internal maupun eksternal, apa yang dilakukan oleh MAN Cianjur bisa menjadi sumber inspirasi dan model yang bisa diadop oleh sekolah-sekolah lain. Ada apa di MAN Cianjur? Sekolah ini sudah memiliki Majalah Sekolah sebagai majalah pertama di Cianjur yang bernuansa Islami yang dibuat oleh Sekolah melalui Kelompok Karya Ilmiah dan Jurnalistik (KIJ), bahkan Majalahnya sudah memperoleh penomoran Internasional (ISSN) sejak Desember 2003 dan terdaftar di Internasional Serial Data System (SDS) Paris Perancis.

Majalah tersebut bernama ISMA sebagai akronim dari Interaksi Siswa Madrasah Aliyah. Redakturnya adalah siswa-siswa yang aktif di KIJ, sedangkan pelindung, penasehat, dan pimpinan umumnya berasal dari kalangan guru, adapun para penulis yang menyumbangkan tulisannya adalah siswa dan guru, baik dari MAN maupun sekolah lainnya di Cianjur, mahasiswa, dosen, sampai kalangan birokrat di Cianjur seperrti wakil bupati Cianjur. Pangsa pasar ISMA adalah kaum terpelajar (siswa, guru, mahasiswa, dosen), kalangan birokrasi dan masyarakat umum, mereka dapat memperolehnya dari agen tetap yang tersebar, baik di Cianjur maupun di Bandung, adapun yang sudah menjadi langganan tetap diantarkan langsung oleh tim redaksi.
Hadirnya majalah sekolah yang diakui secara internasional menjadi added value sekolah di mata stakeholder, hal tersebut juga merupakan salah satu model jawaban konkret atas apa yang diungkapkan oleh redaktur PR di atas, serta sebagai media stimulus untuk mendongkrak kemampuan menulis di kalangan siswa dan guru, dan sebagai ajang latihan untuk membuat KIP dan KTI yang menjadi salah satu instrumen pengembangan profesi guru.

Mengapa budaya menulis perlu dikembangkan di sekolah? Apa yang diungkapkan oleh Al Wasilah (Pikiran Rakyat, 12 Maret 2005) kiranya dapat membantu menjawab pertanyaan ini. Menurutnya bahwa budaya literat menjadikan mereka, khususnya kaum muda terdidik, terbiasa menulis, menulis telah terbukti sebagai kegiatan bahasa yang paling mendukung terbentuknya keterampilan bernalar, yaitu kegiatan memecahkan masalah melalui proses linguistik dan kognitif yang kompleks seperti organizing, structuring dan revising. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian dalam konteks SMA di AS yang menyimpulkan bahwa menulis mendukung nalar dan pembelajaran mata pelajaran yang lebih kompleks yang berguna bagi keberhasilan melakoni budaya berbasis teknologi dan informasi yang kompleks (Langer & Applebee, 1987), lebih lanjut Alwasilah memberikan simpulan bahwa secara kolektif, bangsa yang lemah budaya tulisnya cenderung lemah daya nalarnya, dan secara individual, seorang yang produktif menulis akan lebih kritis dari pada yang tidak produktif.

Berdasarkan hal yang diungkapkan oleh Alwasilah di atas, jelaslah bahwa membudayakan menulis di lingkungan sekolah memiliki peranan dan efek jangka panjang dalam membenahi distorsi yang terjadi dalam dunia pendidikan dewasa ini, pembudayaan dan pembenahan pelajaran menulis dari SD sampai PT menjadi jamu yang paling murah, tapi mujarab dalam mengobati lemahnya kemampuan berpikir kritis generasi bangsa Indonesia. Pada saat menulislah seseorang sadar terhadap apa yang diketahuinya dan ingin diungkapkannya, itulah yang disebut dengan meaning making atau proses mengikat makna, kesadaran semacam itu merupakan indikator kemampuan berpikir kriti.


Penulis, Guru MAN Cianjur

Status : Pengurus AGP PGRI Jabar

klik desk anggota agp di:
http://sekretariatagppgrijabar.blogspot.com/2011/02/daftar-anggota-agp-pgri-jawa-barat.html
 

Sumber :http://erlan-abuhanifa.blogspot.com/2009_02_01_archive.html